Bahasa dan
Kebudayaan Nasional
Pada 1930-an terjadilah di kalangan
para intelektual muda Indonesia polemik tentang masa depan bangsa Indonesia.
Polemik itu berlangsung bertahun-tahun serta dimuat dalam berbagai majalah dan
surat kabar. Sekarang kita sebut sebagai polemik kebudayaan karena sebagian
besar polemik itu dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja yang diberinya judul
“Polemik Kebudayaan” (Balai Pustaka, Jakarta, 1950). Yang terlibat dalam
polemik itu kemudian kita kenal sebagai pendiri bangsa dan negara Indonesia,
antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, Dr. Soetomo, Ki Hadjar
Dewantara, dan Dr. Poerbatjaraka.
Mereka membahas berbagai segi
kebudayaan nasional Indonesia yang sebenarnya ketika itu merupakan suatu hal yang
diangankan. S. Takdir Alisjahbana dengan lantangnya mengatakan bahwa untuk
membangun bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia, kita harus memutuskan
hubungan dengan masa lampau yang disebutnya sebagai masa pra-Indonesia. Kalau
mau maju, bangsa Indonesia harus sebanyak-banyaknya menyedot jiwa Barat yang
dinamis. Begitu juga dengan kekayaan kebudayaan daerah kita yang dianggap
sebagai hasil masa lalu, dianggap bukan bagian dari kebudayaan kita.
Akan tetapi, ada yang berpendapat
sebaliknya, yaitu bahwa kita sebagai bangsa tidak dapat melepaskan diri dari
masa lalu. Kita sekarang adalah lanjutan dari masa lalu itu. Masa lalu tak bisa
begitu saja dihapuskan dari hidup kita.
Yang menarik adalah bahwa polemik
itu ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu bahasa yang belum lama sebelumnya (28
Oktober 1928) dinobatkan sebagai bahasa persatuan oleh para pemuda yang
mengadakan kerapatan di Jakarta. Para pemuda yang mewakili berbagai suku bangsa
dari seluruh daerah di Indonesia itu dengan tegas menyatakan bahwa mereka mengaku
berbangsa dan bertanah air satu dan bahwa mereka menjunjung bahasa persatuan
yang mereka pilih dari ratusan macam bahasa yang terdapat di seluruh persada
Indonesia, yaitu bahasa Melayu yang mereka beri nama bahasa Indonesia. Bahasa
Melayu yang mereka jadikan bahasa nasional itu sudah mereka pergunakan sebagai
lingua franca, baik dalam pergaulan sesama suku maupun sebagai bahasa pers.
Sesungguhnya bahasa nasional itulah
yang telah nyata-nyata kita miliki sebagai budaya bangsa. Padahal, para pemuda
yang menasbihkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia itu sendiri
adalah hasil didikan sekolah Belanda yang lebih fasih menggunakan bahasa
Belanda daripada bahasa Melayu — yang tampak antara lain dari pengakuan Dr.
Poerbatjaraka dalam tulisannya. Setelah bahasa Melayu diakui sebagai bahasa
persatuan dan diberi nama bahasa Indonesia, para pemuda kaum intelektual
pejuang kemerdekaan itu mulai belajar sungguh-sungguh berbahasa Indonesia.
Dengan bahasa nasional itulah mereka memengaruhi bangsanya tentang kesadaran
nasional, tentang cita-cita kemerdekaan. Adalah faktor kebetulan bahwa tidak
lama kemudian, Belanda diusir oleh bala tentara Jepang (1942) dan pemakaian
bahasa Belanda sama sekali dilarang. Pemerintah pendudukan Jepang ingin
menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi di tanah jajahannya. Akan
tetapi, karena belum banyak yang dapat menguasainya, mereka terpaksa mengangkat
bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus digunakan di seluruh Indonesia,
sementara bahasa Jepang diajarkan sangat intensif. Para pemimpin kita
dikerahkan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk berpropaganda tentang
kehebatan bala tentara Dai Nippon dan janji-janjinya. Para pemimpin kita dalam
kesempatan itu membangkitkan kesadaran kebangsaan rakyat untuk mempunyai negara
dan pemerintahan sendiri.
Bahwa pada waktu Jepang kalah dan
kita memproklamasikan kemerdekaan disokong oleh seluruh rakyat, menunjukkan
bahwa para pemimpin nasional kita telah berhasil menanamkan kesadaran nasional
dan patriotisme.
Dengan kata lain, bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional telah berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di
samping itu, kita pun melihat bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang
dapat dipergunakan untuk melahirkan karya sastra berupa prosa dan puisi yang
ternyata mendapat pengakuan secara internasional. Karya-karya Chairil Anwar,
Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja,
Mochtar Lubis, Utuy T. Sontani, dianggap bermutu sehingga banyak yang
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.
Dalam perkembangan selanjutnya, kian
banyak orang yang menulis dalam bahasa Indonesia. Kalau tadinya pada masa
sebelum perang yang menulis karya sastra itu terutama hanya orang-orang
Sumatra, istimewa dari Minangkabau, sekarang kita melihat para penyair dan
sastrrawan berdatangan dari berbagai suku bangsa dari seluruh pelosok
Indonesia. Pengakuan terhadap mutu karya-karya sastra Indonesia juga kian
banyak dari berbagai negeri lain dengan munculnya para ahli bahasa dan sastra
Indonesia di negeri-negeri itu dan karya-karya sastra Indonesia kian banyak
diterjemahkan ke dalam kian banyak bahasa.
Tidak hanya dalam bidang sastra kita
menyaksikan kemajuan pemakaian bahasa Indonesia, melainkan juga dalam bidang
ilmu. Bahasa Indonesia bukan saja dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar
di dalam semua jenjang pendidikan, melainkan juga dapat digunakan untuk menulis
berbagai macam ilmu.
Akan tetapi, kemajuan bahasa
Indonesia dalam bidang seni dan ilmu itu sayang sekali tidak terjangkau oleh
kebanyakan bangsa kita karena sejak Republik Indonesia berdiri, tidak ada
pemerintah yang secara sungguh-sungguh mengamalkan amanat Mukadimah UUD untuk
mencerdaskan bangsa. Sekolah banyak didirikan tetapi kegemaran membaca tidak
dibina karena sekolah-sekolah dan universitas-universitas itu tidak dilengkapi
perpustakaan yang memadai, yang bukan saja akan memupuk kegemaran membaca dan
memperkenalkan siswa dengan dunia bacaan yang tak terbatas, melainkan juga akan
menyebabkan mereka mengikuti perkembangan prestasi bangsanya dalam bidang ilmu
dan seni, terutama sastra.
Seakan-akan ada jurang yang dalam
antara prestasi yang dicapai para putra Indonesia dalam bidang sastra serta
ilmu dan umumnya bangsa Indonesia. Bahkan, mereka yang bergelar sarjana pun
kebanyakan tidak mengikuti perkembangan ilmu karena skripsi dan disertasinya
dibuatkan oleh orang lain atau hasil plagiat.
JURNALISTIK

Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi
secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk
lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang
tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai
oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat
dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan
kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan
wajah dari bahasa itu.
Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa
Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam
bahasa Arab dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut,
masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk
menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat
luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang
diungkapkan oleh para ahli:
1. menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang
sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu
kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan.
2. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and
contructed out of a finite set of elements.
3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat,
berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli
bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki
konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya.
Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana
dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya Bahasa, Masyarakat dan
Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan
memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan unit-unit kecil menjadi
unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh, kita
menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai
dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian
digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan
aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.
Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal
secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa
mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata
manusia.
PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani
Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang
terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud
Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol
dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat
publik.
Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya
Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja
yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai
dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu
merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang
lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus
dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga
pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat.
Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh
kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai
mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam
mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari
elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan
atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan
yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan
menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur
kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai
aturan hidup dan tingkah laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan
dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar
hidup.
5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu
sistem yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil
karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami
bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu
kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi
suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek
dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai
budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam
mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada
sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan
secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya
nasional.
HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai
hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala
hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada
juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara
berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam
bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan
antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana
bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang
mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif,
yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang
melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur
interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang
berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du
buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu
sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia
yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi
antar persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya
terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat
absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada
tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya.
Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya
selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam
analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat
digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam bahasa
Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan
sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar
disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau
fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman
pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut
iwak.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya
dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai
makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan
padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks
lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi. Lalu
karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan
juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata
yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari
rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya
Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang
lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa
berarti kakak dan bisa juga berarti adik.
Antara
Bahasa dan Budaya
oleh Herman RN
Sosiolinguistik bukanlah sekedar
pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan sosiologi atau ilmu sosial
lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip setiap aspek
kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu,
agar pembahasan di sini tidak meluas, kami membatasinya pada “Bahasa dan
Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak ahli dan peneliti sepakat
bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebut saja
di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya,
yang disampaikan dalam seminar nasional “Budaya Etnik III” di Universitas
Sumatera Utara 25 April 2009 kemarin. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk
budaya pemakai bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat
antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal
dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf.
Kedua ahli ini menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat
ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya” (Chaer, 2003:61).
Sementara itu, Piaget, seorang
sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa
seseorang. Dari sinilah lahir teori
pertumbuhan kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky,
sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap
sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu
sehingga melahirkan pikiran berbasa dan bahasa berpikir. Noam Chomsky juga
sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya
dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan
yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-58).
Lantas, bagaimanakan hubungan dan
keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah yang akan kami coba ulas dalam tulisan
singkat berikut ini, tentunya berdasarkan teori-teori yang sudah ada dan
mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan sebagai tempat (daerah) masalah
ini kita diskusikan.
HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA
Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa
bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan
bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan
oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi
diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber
(1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan
Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga
sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III
(2005:88) disebutkan bahwa:
- bahasa
merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota
satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri;
- bahasa
merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh
Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat
komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam
penggunaannya bahasa (language in use)
merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal
ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada
kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat
berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya
juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat
diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka
tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan
timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah
perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka
bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang
menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi).
Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian
ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai
penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur
disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam
interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku
berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya.
Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau
pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak
jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan
bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan
beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan
lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata
“Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda.
Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa
Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan
langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang
lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini
tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan,
akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental
adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa
Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang
memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat,
wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua
kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai
untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa
itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan &
Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau
produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan
itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah
aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya
termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa
bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa
tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah
yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau
kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali
misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da
ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai
ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan
dalam bahasa Jawa, rumongso biso,
nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan
apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil
kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki
ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun
1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat
mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik
Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia
berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa
bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas
dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana,
2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di
Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku
bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu
mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat
sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa
tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua
dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap
komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut——————-
1 Di antara buku-buku yang mengutip teori Sapir-Whorf
adalah Linguistik Umum (Abdul Chaer, 1994), Sosiolinguistik Perkenalan Awal
(Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004), Sosiologi Bahasa (Joshua A Fishman,
1991), Sosiolinguistik (Sumarsono dan Paina Partana, 2002), Psikolinguistik
Kajian Teoritik (Abdul Chaer, 2003).
DAFTAR RUJUKAN
Bloomfield, Leonard. 1995. LANGUAGE. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, Gillian dan George Yule (dindonesiakan oleh
Soetikno).1996. Analisis Wacana.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
——–.2003. Psikolinguistik,
Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Fishman, Joshua A. 1991. Sosiologi Bahasa. Kuala Lumpur: Universitas Sains Malaysia Pulai
Pinang.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA
dan Pustaka Pelajar.
Suryadi. 2009. Hubungan
Antara Bahasa dan Budaya. Universitas Sumatera Utara (makalah Seminar
Nasional Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara,
Medan 25 April 2009).
2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Pusat Bahasa RI.
Chaer
(2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi.
Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang
bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk
berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini
menyebutkan bahwa dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi.
Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan
‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa
sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya
adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI:
2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa
bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran
di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Para ahli
sepakat bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya
ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai
komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia
(terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang
selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau
yang menjadi lawan penutur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau
“lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul
beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah
kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa
dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam
interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau
kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan
memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda
pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga
berhubungan dengan bahasa (Hodgson:1990:169). Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya,
diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang
menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung
digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan
nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang
wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai
oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika
dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam
menghormati orang lebih tua.
Pemilihan
kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantung
kepada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang
dikemukan oleh Sumarjan & Partana (lidahtinda.wordpress.com:2009) bahwa
bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk
sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan
dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang
diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai
cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa
yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa
sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya.
Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’
mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada
dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso
biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil
kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki
ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
0 komentar: